Transformasi GMKI, Masa Depan Komunitas Intelektual Generasi Muda Kristen

Tulisan ini saya anggap sebagai manifesto bung Jefri Gultom selaku kandidat Ketua Umum Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI).

Transformasi GMKI, Masa Depan Komunitas Intelektual Generasi Muda Kristen
Kandidat Ketua Umum PP GMKI, Jefri Gultom

Tulisan ini bukan hasil pikiran saya. Tapi sulih media buah pemikiran bung Jefri Gultom yang ia sebarkan di media sosialnya. Saya menganggapnya sebagai manifesto si penulis selaku kandidat Ketua Umum Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI).

Transformasi GMKI, Masa Depan Komunitas Intelektual Generasi Muda Kristen

Dari mana GMKI muncul atau lahir? Ia tidak datang dari imperium Majapahit, ia juga tidak muncul begitu saja dari pergolakan politik ataupun hasil dari suatu realpolitik pada masanya. Ia muncul dari realitas pengalaman iman Kristiani yang sadar dan terlibat dalam agenda nasionalis. 


Karenanya, GMKI bukan sekedar kelanjutan dari komunitas berkumpulnya kaum muda Kristen, tetapi ia adalah penjelmaan sikap universalisme dalam menegaskan komitmen intelektual yang berdasar pada iman dan etika Kristiani dalam perjalanan perjuangannya.


Pada konteks itulah nuansa iman Kristiani tampak dalam jiwa nasionalisme para kader GMKI bukan sekadar kelanjutan dari ikatan seiman, tetapi ia adalah penjelmaan dari realitas peristiwa religiusitas yang secara spontan masuk dalam alur sejarah perjuangan bangsa Indonesia. 


Ekumenisme dan Nasionalisme adalah jiwa juang yang menjadi spirit keterlibatan untuk berjuang berdasarkan semangat dan inspirasi iman kristiani. Olehnya, para kader menghayati dimensi ekumenisme sebagai fondasi, pedoman, sekaligus wahana untuk menempuh jalan panjang perjuangan menuju kesatuan dengan sesama. 


Dari dimensi ini juga, jiwa nasionalisme menjadi sketsa intelektual kaum muda Kristen dalam memastikan gelagat perjuangannya bagi bangsa dan negara. Dua pedoman itu adalah daya dorong (push) dan kekuatan penarik (pull). Sebuah negara-bangsa tidak muncul ataupun dibarui hanya dengan kehendak dan kemauan (push), sebagaimana sebuah negara-bangsa juga tidak lahir hanya dari tarikan situasional cuaca ideologis, politik, ekonomi, kultural, hukum, dan sebagainya. 


Dalam arti itu, perjalanan Bangsa ini tidak lepas dari peran GMKI sebagai komunitas intelektual muda Kristen yang berani meleburkan diri dalam semangat perjuangan.

Posisi GMKI

GMKI, lebih dari masa lalu hingga hari ini, kita seperti terjebak dalam bayang-bayang kebesaran masa lalu, hingga lupa tantangan zaman hari ini dan ke depannya. Namun, arti pentingnya bagi Gereja sebagai semangat Ekumenisme dan semangat Nasionalisme bagi Bangsa disadari sepenuhnya. 


Bagi kita yang ikut berproses di dalamnya, boleh berbangga sebagai jiwa yang menghidupkan masa depan generasi muda Kristiani untuk meneguhkan komitmen kerterlibatan melalui khazanah intelektual para kader.


Seiring perkembangan zaman, kehadirannya bukan hanya menuai eksistensi tapi juga esensi. Bagaimana GMKI hadir dan meleburkan diri dalam peristiwa hidup umat kristiani sebagai warga Gereja juga warga bangsa. 


Sejalan dengan dinamikanya hingga hari-hari ini, ia adalah wahana untuk melihat, memahami dan memaknai peristiwa iman melalui pengenalan akan peradaban, kebudayaan, cita-cita, dan ideologi. 


Melalui sejarah perjalanannya, khusus bagi generasi muda Kristen bisa mengambil kesempatan untuk belajar menjadi pribadi yang terbuka, mampu bertahan di setiap tantangan, mampu menemukan harga dan kepercayaan diri. Bahkan mengenali identitas dirinya melalui proses pendidikan berjenjang yang secara sistematis di dalamnya. Melaluinya setiap insan yang menjadi kadernya mampu bertutur dan menimbah hikmat dalam bingkai iman Kristiani.


Di sana tersipu aneka perbedaan dari beragam latar belakang. Semua yang berbeda itu disatukan dalam inspirasi iman kristiani karena semangat dasar Ekumenisme dan memiliki jiwa Nasionalisme. Orang yang bermaksud menimba “ilmu kehidupan” dan peradaban di suatu masa hidup tertentu pasti punya pertimbangan dalam menentukan pilihannya terhadap organisasi semacam GMKI ini.


Bahwa tak dipungkiri tidak semua kaum muda Kristen punya kesempatan yang sama untuk bergabung dalam gerakan ini. Mungkin kesempatan itu ada tapi tidak semua kaum muda Kristen dipanggil untuk melewati tantangan melalui GMKI. Melaluinya, harus diakui bahwa menyimpan kemilau makna yang menegaskan kepastian bahwa ada konteks perjuangan yang tampak dalam kandungan hikmat menjawab ikhtiarnya.


Para kadernya diajak berkelana ke masa lampau, hari ini dan yang akan datang, satu-satunya yang pasti manusia miliki yakni iman dan akal budi. Gerakan Ekumenisme adalah fundamen penjelmaan iman Kristiani. 


Sedangkan Nasionalisme adalah gerakan intelektual yang menjiwai jalan perjuangan bagi Bangsa dan Negara. Maksudnya, periode yang pernah dilewati, dialami, disentuh, dimaknai oleh generasi terdahulu hingga hari ini dan ke depan akan selalu terpatri dalam arus sejarah dan perjalanan kemajuan zaman yang mewarnai GMKI yang bertutur dan bercerita secara kontekstual. 


Tidak hanya sekadar sebuah organisasi semata, melainkan road map untuk terus mencari, bahkan menemukan makna setiap peristiwa sejarah. Sebab GMKI sudah menjadi miniatur yang inspiratif yang bernarasi tentang identitas sekaligus historisitas yang dinamis dari suatu entitas, lembaga atau institusi. 


Sesungguhnya, masa lalu tidak pernah merupakan waktu yang kosong dan homogen. Sebab, ia senantiasa mengedepankan perspektif baru bagi pribadi yang terbuka. Transformasi GMKI berawal dari konteks ini.


Bahwa kita tidak pernah menutup mata terhadap kepentingan tersembunyi dalam setiap perjuangan GMKI. Ini terjadi, jika ada ideologi yang hendak ditonjolkan, yang berekses pada penenggelaman perspektif, makna dan tujuan pendiriannya. 


Dengan ungkapan tersebut, saya hendak menyatakan, bahwa organisasi pergerakan kaum muda seperti GMKI tidak bebas nilai dan tidak bebas kepentingan. Namun, ancaman ini dapat dinetralisasi dengan penegasan visi-misi, refleksi berjenjang, adaptasi terhadap ide dan gagasan baru yang sesuai dengan gelagat zaman, penjelasan yang memadai, termasuk sisi-sisi pro dan kontranya dalam menanggapi beberapa isu-isu kebangsaan akhir-akhir ini. 


Dengan demikian, maksud pendiriannya yang multi dimensi, sekaligus sumber inspirasi, mengarah dan mendekati perealisasiannya harus dirumuskan dalam pola pendidikan berjenjang yang terintegrasi dan sistematis seperti dalam dokumen Rancangan Renstra GMKI menuju 2045.


Dalam era teknologi digital ini, materi yang bisa disentuh dan dicium, bukannya tidak penting, tetapi mungkin perlu dijajaki kemungkinan merumuskan sistem pendidikan digital atau digital learning space. Model pendekatan pendidikan dan pengkaderan seperti ini selain lebih ringkas, juga lebih ramah dan menyapa generasi muda sekarang dan yang akan datang. 


Terbujur persoalan utama eksistensi sekaligus esensi GMKI di sini dan sekarang ini sesungguhnya bukan pada kaidah, asas filosofis atau prinsip dasariah, melainkan menyangkut praksis. Bagaimana kehadiran GMKI dalam peristiwa hidup iman Kristiani sehari-hari. 

Persis di sinilah, di bidang praksis inilah bukan hanya GMKI tetapi kelompok organisasi mahasiswa yang tergabung dalam kelompok Cipayung kedodoran dan sering terjebak pada bayang-bayang kebesaran masa lalu! 


Bahwa, melaluinya setiap orang yang tergabung bisa mengabadikan bukan hanya khazanah hasil cipta, karsa, dan karya manusia yang beradab, yang dapat dipandang sebagai suatu bentuk partisipasi dalam proses kreatif Sang Pencipta, tetapi melestarikan konsientisasi kita sebagai warga bangsa. Lalu, bagaimana dengan masa depan GMKI?

Transformasi dari konteks

Tahun 2020 adalah era baru new dekade dengan segala kompleksitasnya. Era ini adalah era ketakjuban. Manusia secara global mengalami masa hidup yang menakjubkan. Orang serentak hidup dalam banyak dunia. Manusia merupakan komunitas global yang terintegrasi.


Perkembangan teknologi komunikasi dan internet mengubah tatanan dunia, khususnya dalam hal memproduksi serta mendapatkan informasi. Teknologi digital membuat produk budaya populer seperti film, musik, buku, dan informasi berita dapat diakses dengan cara yang mudah.


Dari kacamata media arus utama, kondisi ini dipandang sebagai sebuah gangguan, terutama jika melihat pada pendapatan bisnis dan tingkat penggunaan oleh publik. Media digital saat ini sudah menjadi bagian dari hidup masyarakat modern karena memiliki kelebihan dibanding media arus utama.


Internet melakoni peran sebagai kanal distribusi konten atau loper digital menembus ruang dan waktu Immediacy atau kesegeraan merupakan sifat natural berkirim pesan atau konten dalam iklim digital. Perubahan yang dibawa oleh teknologi digital sangat signifikan, sampai-sampai muncul istilah “disrupsi” untuk menyebut perubahan yang berlangsung secara tak terbendung ini.


Namun, kehadiran teknologi digital tidak selalu menjadi ancaman. Joel Waldfogel melalui buku terbarunya menunjukkan sisi cerah iklim digital yang lebih demokratis dalam hal akses dan membuka peluang dalam berbagai bidang kehidupan bagi banyak orang.


Digitalisasi juga menimbulkan persoalan lainnya, yakni pembajakan konten digital, perlindungan terhadap hak intelektual, serta ancaman munculnya kurator konten baru berbasis teknologi. Mesin pencarian didominasi oleh Google. 


Media sosial dirajai oleh Facebook dan beragam platform yang dimiliki olehnya juga termasuk Instagram. Hal ini dikhawatirkan menyebabkan konsumen dan kreator terkekang dalam monopoli kapitalisme global.


Dari konteks itu, menurut hemat saya ada tiga faktor besar yang akan mendominasi masa depan yakni kecanggihan teknologi,  fundamentalisme agama dan fundamentalisme pasar. 


GMKI sebagai komunitas intelektual yang menjadi wadah pendidikan generasi muda khususnya kaum muda Kristen harus mampu menegaskan posisinya dalam memainkan peran sebagai jembatan perubahan dengan membingkai tiga isu utama di atas. Bahwa era kompetisi sekarang dan kedepan terletak pada siapa yang lihai beradaptasi dengan perubahan. Bukan lagi soal siapa yang besar dan kecil. Artinya sistem pendidikan untuk menciptakan Sumber Daya Manusia unggul harus dipersiapkan secara matang dan terintegrasi.


Seperti Visi-Misi GMKI yang masuk dalam rumusan Rencana Strategis dan Rencana Jangka Panjang menuju 2045, ‘’Kajian Menjangkau Masa Depan”. Artinya, ''Membangun Sumber Daya Manusia'' jadi simpul dan fokus menata organisasi minimal dalam satu dekade kedepan.  Visi-Misi ini bukan tanpa alasan, tapi esensi subtansial: bahwa kemajuan apapun itu adalah milik organisasi dengan manusia berkualitas.


Visi ini seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang membawa perubahan pada berbagai aspek kehidupan. Dunia kini dibanjiri informasi yang terjadi dari waktu ke waktu dengan cepat. 


Lahirnya generasi milenial dituntut memiliki kemampuan untuk menguasai teknologi informasi dan komunikasi. Keterbukaan informasi menuntut proses pembelajaran multi-arah, memanfaatkan berbagai sumber belajar, dapat dilakukan di mana dan kapan saja, serta yang berpusat pada realitas.


Bahwa sehat dan cerdas saja tidak cukup, harus berkarakter dan produktif. Yang cepat beradaptasilah yang menentukan. Bukan sekadar pintar, apalagi hanya besar. Revolusi Industri 4.0 meminggirkan mereka yang lambat. Perubahan drastis yang semula terjadi hanya di sektor bisnis dan manufaktur kini merambah ke semua sektor. Teknologi ikut menentukan siapa kita.


Komitmen yang perlu dikembangkan adalah kemampuan menumbuhkan talenta lokal menjadi global dan menarik talenta global. Di sinilah pentingnya ekosistem untuk mengembangkan talenta nasional. Kata kunci menuju SDM Unggul adalah komitmen berkolaborasi. 


Manusia abad ke-21 berpartisipasi dalam realitas perubahan untuk menggunakan karya-karya original berbasis talenta dan melalui penciptaan nilai. Artinya konteks organisasi yang mengerti perubahan, lalu beradaptasi, dan ikut berkontribusi melalui instrumen perubahan tersebut. 


Dengan piawai mereka merekonstruksi realitas dalam pikirannya melalui penguasaan bahasa-bahasa baru. Kepekaan dalam memegang tanggung jawab sosial dan kepemimpinan, mulai secara lokal, komunitas, nasional dan bahkan menjalar ke global. Bingkai kreativitas dan inovasi dalam mengembangkan keterampilan dan kompetensi dalam penciptaan nilai berbasis modal sosial, human capital, serta tatanan publik. 


Klaus Schwab dalam bukunya The Fourth Industrial Revolution membagi dua horizon. Pertama, gejala pokok yang menandai revolusi industri dan mendorong sebuah perubahan adalah fisik, digital, dan biologi. 


Kedua, tantangan dan peluang untuk menyiasatinya. Sehingga pada bagian pamungkas bukunya dia mengusulkan pentingnya mengembangkan empat kecerdasan yakni 1) kecerdasan kontekstual (contextual intellegence) yakni: soal ‘’pikiran,’’ 2) kecerdasan emosional (emotional intellegence) atau dimensi ‘’hati,’’ 3) kecerdasan inspiratif (inspired intellegence) pada dimensi ‘’jiwa,’’ 4) kecerdasan fisik (physical intellegence) alias ‘’tubuh.’’ Mungkin maksudnya Klaus Schwab adalah tetaplah jadi manusia yang punya tubuh, jiwa, hati dan pikiran.


Pada akhirnya, momen kongres GMKI kali ini harus dimaknai dengan perspektif baru bukan hanya ajang regenerasi kepemimpinan, tapi mari kita jadikan sebagai upaya memperkuat semangat Ekumenisme secara internal, dan menegaskan komitmen nasionalisme secara eksternal untuk menjangkau masa depan kemajuan organisasi. Prasyarat utama keduanya adalah kolaborasi. 


Sebab orang boleh silih berganti, datang dan pergi, namun selalu ada yang tinggal tetap, yakni catatan dan warisan peristiwa. Tinggi Iman, Tinggi Ilmu, Tinggi Pengabdian. Ut Omnes Unum Sint!