Masih Adakah Roh Ut Omnes Unum Sint Itu?

Friksi-friksi kecil memang sering terjadi. Tapi biasanya tak sampai berujung saling memusuhi. Setelah lewat dari fase itu, kembali lagi tenggelam dalam semangat kekeluargaan.

Masih Adakah Roh Ut Omnes Unum Sint Itu?
Pendampingan GMKI untuk anak-anak pengungsi korban tsunami Aceh-Nias yang ada di Pekanbaru.

MASIH lekat dalam ingatan, bulan Agustus 2000, hampir 22 tahun yang lalu, seorang pria bermata tajam datang menghampiri aku dan puluhan mahasiswa baru lainnya saat dikumpulkan di belakang kelas oleh sejumlah senior panitia Masa Pengenalan Kampus. Tanpa basa basi, ia meminta kami yang sedang duduk untuk berdiri. Kami menuruti. Mungkin ada juga yang bertanya-tanya siapakah gerangan dia?


Masih tanpa basa basi, si pria bertubuh gempal itu langsung menanyai agama kami satu persatu. Kebetulan, saat itu sudah memasuki waktu salat Jumat. Mahasiswa baru yang beragama Islam berbaris rapi menuju masjid. Sementara kami yang bukan Islam, tetap tinggal di ruangan C3 yang hangat. 


Kawan yang ditanyai si pria tadi menjawab, "Kristen bang". Si pria pun berkata, "masuk GMKI kau ya". Buka dalam bentuk kalimat tanya. Terasa lebih seperti kalimat perintah. Tanpa kami tahu siapa dia sebenarnya kok berani-beraninya main perintah. Pertanyaan itu tentu tak sampai keluar dari mulut saya. Cukup disimpan di hati.


Si pria itu, dengan tatapan yang tetap tajam kemudian bertanya tentang nama dan jurusan kami. Jemarinya, yang terlihat seperti jempol semua, mulai menorehkan tinta pulpen di secarik kertas yang entah dari buku siapa disobeknya. Karena jumlah kami yang beragama Kristen tak banyak, tidak lama pulalah si pria itu berada di dekat kami. Dia kemudian berbicara dengan salah seorang panitia, lalu mengajak kami menuju ruang D4. Sepelemparan batu jauhnya dari ruang C3.


Sembari melangkah menuju ruangan yang ia sebut tadi, saya bertanya-tanya dalam hati, barang apa pulak itu GMKI? Untuk remaja yang tergolong Kristen Kapal Selam, rasa-rasanya belum pernah saya dengar GMKI. Sempat terpikir itu adalah nama gereja atau sekte tertentu di Kristen. Pertanyaan akhirnya terjawab setelah kami disambut hangat di ruangan itu.


Si pria bermata tajam memperkenalkan diri. David Rajagukguk namanya. Di situ, saya pun jadi tahu kalau GMKI ternyata akronim dari Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia. Lega rasanya. Ternyata bukan sekte baru dalam Kristen seperti yang aku takutkan.


Di ruangan itu, pembawaan David lebih hangat. Bibirnya lebih banyak menebar senyum, walau sebenarnya tak ada manis-manisnya. Tapi, walau tampilannya begitu, si David yang asal Pematang Siantar ini ternyata cukup penting di organisasinya. Jabatannya adalah Ketua GMKI tingkat Komisariat. 


Singkat kata, perkenalan itu bukan awal perpisahan. Justru menjadi awal perkenalan saya dengan sebuah organisasi mahasiswa yang terbilang besar dan tua di Indonesia. Ut Omnes Unum Sint amsal-nya. Kalimat dari bahasa latin itu menjadi semangat yang terus diingat-ingatkan, memupuk rasa persaudaraan di antara kami anggotanya. Dari orang yang awalnya saling tak kenal, diikat dengan tali persaudaraan. Saudara sepergerakan namanya.


Bang David, begitu akhirnya saya memanggil pria bermata tajam tadi pun ternyata orang yang luar biasa sabar membimbing kami. Dia pula yang banyak mengajari saya untuk saling berbagi. Tak sekali waktu, saya dan beberapa rekan diajak ke kosnya untuk memasak beras dan ikan teri kiriman dari kampung halamannya. Terkadang kami menginap ramai-ramai di kamarnya. Berbagi cerita tentang banyak hal di kehidupan kami.


Semangat persaudaraan itu pulalah yang membuat saya lupa dengan diri saya yang dulu. Dulunya tak biasa dengan kegiatan-kegiatan rohani, saat itu justru bersemangat datang ke kebaktian-kebaktian, safari rohani, dan lain sebagainya. Dengan satu syarat, yang penting bersama-sama.


Friksi-friksi kecil memang sering terjadi. Tapi biasanya tak sampai berujung saling memusuhi. Setelah lewat dari fase itu, kembali lagi tenggelam dalam semangat kekeluargaan. Nasi bungkus 5, dimakan oleh 10 orang sudah biasa. Saling berbagi rahasia pun kadang ada. 


Di GMKI begitu juga. Friksi-friksi biasa terjadi. Apalagi di persidangan-persidangan resmi organisasi. Saya sering melihat senior-senior berpacu dalam perdebatan demi perdebatan. Saling adu argumen, saling interupsi, saling tunjuk bahkan kadang ada yang sampai banting-banting kursi. Sempat terpikir, organisasi macam apa ini?


Tapi menariknya, di luar ruang persidangan, di teras gedung, para senior yang tadinya berdebat hebat justru duduk berdekatan, bercengkerama seperti biasa, kadang saling berbagi api rokok atau menyeruput segelas kopi bersama. Tidak ada amarah di sana. Semua kembali lagi seperti saudara sepergerakan.


Tapi akhir-akhir ini, situasi sepertinya sudah berubah. Ruang perdebatan yang kini banyak beralih ke aplikasi media sosial semakin tajam, keras dan brutal. Entah benar atau salah saya memakai kata-kata itu, yang jelas perdebatan kian terasa menciptakan jarak. Huruf demi huruf yang tertuang dengan tarian jempol, seperti cangkul yang menggali parit pemisah. Aku ya aku, kamu ya kamu! Sengit, keras, cadas seperti polarisasi politik di Pilpres 2019.


Saya tidak mau ikut mengungkit masalah apa yang menjadi perdebatan para senior dan adik-adik di organisasi yang saya cintai ini. Dengan kemampuan organisasi saya yang pas-pasan, saya tak mau ikut tenggelam dalam perdebatan yang terasa merenggangkan itu. Terus terang, di GMKI saya tidak cari musuh. Yang saya cari adalah teman belajar cum saudara. Sesuatu yang begitu saya rasakan selama aktif di organisasi ini.


Saya ingat pada tahun 2005 lalu ketika dipercaya memimpin sebuah tim bentukan BPC. Saya pernah dengan emosi yang meluap sampai ke ubun-ubun datang ke Sekretariat GMKI Pekanbaru yang waktu itu ada di Jalan Melayu. Dekat GBKP. Di situ, di hadapan ketua cabang, Winton Parapat yang kini sudah bersama Bapa di Surga, saya luapkan semua uneg-uneg. Saya marah sejadi-jadinya karena merasa tim dibiarkan jalan sendiri oleh BPC.


Perdebatan terjadi. Solusi pun akhirnya dicapai. Selanjutnya, kami masak air, bikin kopi, lalu bercanda kembali. Akrab seperti biasa. Layaknya saudara. Tidak ada lagi marah dalam hati saya. Begitu juga dengan mereka. Sampai sekarang, tali persaudaraan itu tetap terikat walaupun jarak terpaut jauh.


Seingat saya, seperti itulah senior-senior mendidik saya menghadapi masalah. Ketika ada hal yang mengganjal, sampaikan langsung meski tak selamanya enak di telinga si pendengar. Ketika ada persilangan pemahaman, berdebatlah sampai urat leher tegang. Tapi jangan sampai tumbuh kebencian di dalamnya. Konflik terjadi. Tapi tidak sampai membuat saya membenci. 


Ut Omnes Unum Sint; supaya mereka semua menjadi satu; that they all may be one! Itulah sebenar-benarnya yang jadi pegangan organisasi ini. Amsal itu seperti roh dalam diri saya selama di organisasi ini. Tanpa memegang prinsip itu, rasanya tiada guna kita ber-GMKI.  


Bukan bermaksud menggurui, tidakkah sebaiknya kita keluar sebentar dari ruang perdebatan-perdebatan itu. Melangkah ke teras kemudian bercengkrama kembali layaknya saudara?